Pernah baca buku ‘The Secret’ karangan Rhonda
Byrne? Isinya tentang hukum tarik menarik dimana bila Anda menginginkan
sesuatu, Anda harus benar-benar memikirkannya dan menjaganya sampai
benar-benar terwujud. Karena di alam semesta ini, ada sebuah hukum gaya
tarik, dimana yang positif akan menarik yang positif dan yang negatif
akan menarik yang negatif juga. Bila
Anda ingin menjadi kaya, maka ciptakanlah gambaran diri Anda sebagai
orang kaya di dalam pikiran Anda. Jangan pernah meragukannya sedikit
pun, karena keraguan Anda seperti sebuah palu yang menghancurkan
bangunan positif yang sudah Anda bangun di dalam pikiran Anda sendiri.
Mario Teguh dengan slogan
‘salam super’nya pun mengambil pelajaran baik dari hukum tarik menarik
ini (law of attraction). Dengan logika yang baik untuk membawa psikologi
orang menemukan percaya dirinya, Mario Teguh sangat bijak memanfaatkan
peluang sebagai motivator yang bisa diterima berbagai golongan. Dari
yang miskin sampai kaya, dari yang pendidikannya rendah sampai tinggi
bahkan dari berbagai golongan agama yang berbeda. Saya menyambut positif
apa yang sudah dihasilkan oleh perjuangan Mario Teguh dalam mengubah
pandangan psikologis orang Indonesia tentang melihat kehidupan dari
perspektif pemikiran individu yang menjalaninya.
Dalam tulisan ini, saya ingin
mengkritisi tentang satu hal yang terlewatkan oleh buku ‘The Secret’ dan
pemahaman Mario Teguh menyelami kehidupan. Apa yang saya temui dalam
beberapa kasus nyata di lingkungan pertemuan dari berbagai aktifitas
membuat saya melihat ada satu pemahaman yang tak dimasukkan sebagai alur
logika dasar kehidupan. Pemahaman yang saya maksud adalah hukum sebab
akibat, hukum aksi reaksi, hukum tanam tuai atau mungkin lebih dikenal
dengan bahasa hukum karma. Dalam hitungan kalkulasi pemahaman ‘The
Secret’ dan Mario Teguh, hukum karma tidak dijelaskan secara detil dan
mendalam, hingga membuat banyak orang tak melihatnya sebagai sebuah alur
pemahaman dasar memahami kehidupannya.
Hukum sebab akibat, hukum aksi
reaksi, hukum tanam tuai, hukum karma, hanya dikenal oleh mereka yang
mendalami spiritualitas kehidupan. Dalam pemahaman spiritualitas
kehidupan, hidup yang kita jalani saat ini adalah akibat dari sebab di
kehidupan masa lampau. Bahasa yang dikenal dengan pemahaman ini adalah
reinkarnasi, suatu siklus kelahiran dan kematian yang selalu berulang
membawa kalung karma di setiap jiwa manusia. Reinkarnasi adalah suatu
pemahaman kehidupan yang masih diperdebatkan oleh agama-agama dunia,
namun para pelaku spiritual yang sudah melampaui pemahaman agama yang
terbatas, sudah terbiasa memahami reinkarnasi sebagai bagian dari
hitungan abadi di tiap kelahiran seorang anak manusia.
Karma seseorang di setiap
kelahiran itu sudah ada dan tiap orang diajarkan untuk menerimanya
sebagai bagian dari pengalaman ‘jiwa di dalam badan’. Karma bukanlah kutukan, melainkan suatu pilihan (akibat) dari
keputusan (sebab) yang kita ambil di masa kehidupan lampau. Pemahaman
spiritual mengatakan bahwa hidup bukanlah tentang ‘menuju’ suatu keadaan
tertentu, melainkan tentang mengalami suatu keadaan ‘menjadi’ dengan
berbagai pilihan yang sudah diputuskannya sendiri. Ketika
jiwa terlahir memakai ‘pakaian’ raga manusia, maka semua rencana jiwa
itu tertutup oleh kelahirannya di dunia. Maka disebutkan dalam
spiritual, seseorang harus menemukan tujuan kelahirannya agar mengerti
mengapa dia menjalani kehidupannya seperti saat ini.
Ketika seseorang mengerti
tentang tujuan kelahirannya sebagai manusia di dunia saat ini, maka dia
akan menemukan kejernihan untuk menjalani segala hal yang harus dia
lewati sebagai bagian dari proses sempurna ‘pengalaman jiwa’ yang dipilihnya sendiri. namun
banyak orang pasti tidak setuju kalau dikatakan bahwa pengalaman hidup
saat ini dia sendiri yang memilih. ‘kalau bisa memilih, pasti yang aku
pilih lahir sebagai anak seorang raja di kerajaan Inggris sana..’
demikianlah komentar teman saya tentang pilihan jiwanya. Sayangnya,
antara pemahaman jiwanya dan pemahaman manusianya tidaklah sama. Jiwa
lebih mengerti arti kelahirannya sebagai manusia di dunia saat ini dan
menerimanya sebagai proses penyempurnaan diri. Sedangkan manusianya yang
terikat sekali dengan keduniawian sementara ini sangat sulit menerima
segala beban dan derita yang harus dilewatinya, karena memang tidak enak
dan tidak nyaman untuk dijalani. Apalagi membandingkan banyak orang di
sekitarnya yang pemikirannya rata-rata di bawah dirinya bisa lebih enak
dan nyaman kehidupannya.
Hukum tarik menarik, Law of
Attraction tidak akan bisa menjelaskan fenomena kenapa orang susah
sedari kecil, sudah mempraktekkan ajaran mereka tapi tetap susah saja
hidupnya. Paling-paling jawabannya adalah pada kata takdir hidup. Kenapa
tidak dijelaskan takdir hidup itu apa? Mengapa susah sekali
mengenalinya? Atau sulit masuk ke ranah karma reinkarnasi karena masih
didebatkan oleh agama-agama dunia? Kenapa tidak memberitahukan saja
bahwa di ranah spiritual, di ranah orang-orang mencari jawaban tentang
takdir, ada istilah karma, reinkarnasi, hukum sebab akibat, hukum tanam
tuai yang berlaku abadi, di setiap permainan kelahiran dan kematian raga
fana. Saya pikir, hal itu tidak salah dijelaskan dan diberitahukan.
Setelah diberitahukan tentang semua itu, silahkan dikembalikan pada
individunya, kalau mau lebih dalam, bergaullah dengan orang-orang
spiritual yang lebih mengerti kedalaman pemahaman hal-hal itu.
Sangat disayangkan bila
seseorang yang ingin mengerti tentang alur kehidupannya sebagai manusia
di dunia sementara ini, tidak mendapatkan pemahaman yang cukup lengkap,
sebab hal ini bisa mencerahkan jiwa-jiwa yang hidupnya tak seindah dan
tak sesempurna seperti yang mereka inginkan dalam bayangan pikiran
mereka. Sehingga mereka pun bisa menerima apapun kehidupan mereka saat
ini dengan hati yang selalu penuh rasa syukur dalam menjalaninya.
Kehidupan yang sudah diberikan oleh kita, sebenarnya bukan untuk dilawan
atau diarahkan menuju ke tempat yang nyaman menurut pendapat manusiawi
kita saja, tapi yang lebih esensi dari kehidupan ini adalah keinginan
jiwa untuk mengalami pilihan dari sebab yang sudah dia putuskan sendiri
di perjalanan keabadian ini.
No comments:
Post a Comment